MANAJEMEN PENDIDIKAN BERBASIS ESQ SEBUAH SOLUSI DEKADENSI MORAL BANGSA

Dosen Pendidikan Sejarah di FKIP-UGN Padangsidimpuan

  • BURHANUDDIN NASUTION, BN Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Graha Nusantara Padangsidimpuan
Keywords: Manajemen Pendidikan, ESQ dan Dekadensi Moral Bangsa

Abstract

Maraknya tawuran, kasus bullying dan fenomena kriminalitas di Sekolah-sekolah hingga Perguruan Tinggi seperti plagiat serta di lembaga-lembaga negara menimbulkan sebuah tanda tanya besar akan realisasi fungsi Pendidikan Nasional, sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003. Pendidikan Nasional yang pada hakikatnya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, ternyata berbanding terbalik dengan berbagai realitas yang ada. Adalah sebuah ironi, dimana Indonesia selalu menjadi pemborong medali dalam setiap kompetisi olimpiade sains internasional, namun di sisi lain, kasus siswa-siswi cacat moral seperti siswi married by accident, aksi pornografi, kasus narkoba, plagiarisme dalam ujian, dan sejenisnya, senantiasa marak menghiasi sejumlah media. Bukan hanya terbatas pada peserta didik, lembaga-lembaga pendidikan maupun instansi pemerintahan yang notabene diduduki oleh orang-orang penyandang gelar akademispun tak luput terjangkiti virus dekadensi moral.
Hasil survei Transparency International yang merupakan organisasi internasional anti korupsi menyebutkan bahwa kepolisian, peradilan, dan parlemen, masih menududuki skor tertinggi dalam nilai indeks korupsi. Ketiga lembaga tersebut tentunya diduduki oleh orang-orang yang berlatar pendidikan memadai. Senada dengan Transparency InternationaI dan hasil riset tahun 2004, Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan adanya indikasi pola korupsi yang melibatkan Kepala Sekolah bersama Komite Sekolah, Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan Provinsi serta pejabat di lingkungan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Penemuan mencengangkan tersebut dapat dianalogikan sebagai sebuah tamparan keras bagi bangsa. Para stakeholders dan pendidik yang tadinya diharapkan menjadi ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani, malah lebih menyuburkan slogan sarkastik: guru kencing berdiri, murid kencing berlari. "Ketidaksehatan" lingkungan pendidikan inilah yang akhirnya mendorong munculnya tren homeschooling dan pendidikan virtual. Model pendidikan baru ini kian membuat sistem pendidikan formal tersisih. Tak sedikit keluarga peserta didik yang lantas mengalihkan anaknya untuk mengikuti program homeschooling karena khawatir akan pengaruh lingkungan sekolah yang tak lagi "steril". Penyebab lain, tak jarang peserta didik mengalami tekanan psikologis di sekolah non virtual disebabkan interaksi dengan guru yang terlalu kaku dan otoriter, plus tekanan pergaulan antar siswa. Naasnya, pendidikan virtual
bukannya memberikan solusi, malah membuat peserta didik semakin tercabut dari persinggungan realitas sosialnya. Berbagai fenomena di atas menuntut agar sistem pendidikan dikaji ulang. Dalam hal ini, kurikulum sebagai standar pedoman pembelajaran belum sepenuhnya mengejawantahkan tujuan utama pendidikan itu sendiri, yaitu membentuk generasi cerdas komprehensif (IQ, EQ, dan SQ). Oleh karena itu, diperlukan reformasi pendidikan, demi memulihkan kesenjangan ektrim antara kualitas intelektual (IQ) dengan nilai-nilai moral spritual (ESQ).

Published
2018-11-29
Section
Articles